Saat ini rakyat Indonesia sedang siap memilih pemimpin negeri. Ada dua calon presiden yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Jabatan presiden bakal melibatkan pengambilan keputusan strategis untuk kemajuan negeri.
Mekanisme pengambilan keputusan sejatinya tergambar dalam sistem kerja otak. Ahli otak dan neurosains Indonesia, Taruna Ikrar mengatakan dalam hal yang kecil saja, geraknya anggota tubuh sejatinya melibatkan sistem kerja dan pengambilan keputusan dalam otak.
Taruna menyontohkan, geraknya tangan atau mulut kita saat berbicara sesuatu lahir dari koordinasi dari saraf di sumsum tulang belakang yang bekerja sama dengan sistem motorik dalam tubuh.
Dia menuturkan, dalam bekerja dan mengambil keputusan, otak melibatkan alat-alat berupa sistem saraf. Dia mencontohkan untuk membuat jantung berdetak sendiri, otak akan mengirim sinyal dari purkinje, saraf yang melengket dalam jantung yang bisa bisa gerakkan jantung secara mandiri.
Contoh lainnya yakni saat tiba tiba kita terjatuh terluka maka ginjal otomatis akan merespons. Pembuluh darah yang menuju ke ginjal itu disetop atau dikurangi. Mekanisme biologis tersebut dinamakan homeostatis, yang bertujuan menjaga keseimbangan tubuh kita.
Sistem kerja tersebut, menurut Taruna, merupakan gambaran dari proses pengambilan keputusan yang diambil otak dengan cepat untuk tindakan pada organ tubuh kita.
Dalam konteks yang lebih luas lagi, ujar Taruna, pengambilan keputusan dari seseorang bisa dilihat dari pemetaan otak.
Sama seperti kerja otak, pengambilan keputusan oleh seorang pemimpin juga melibatkan banyak hal.
“Pemimpin ambil keputusan melibatkan penglihatan, pendengaran, pengalaman di memori, insting dan menggunakan semua organ dalam tubuhnya untuk pengambilan keputusan, walaupun kecepatannya sangat cepat,” ujar Guru Besar di Pacific Health Sciences University, California, Amerika Serikat kepada VIVA, Rabu 27 Februari 2019.
Lampu lalu lintas otak
Pada prinsipnya, ujarnya, pengambilan keputusan yang berbasis pengalaman akan melahirkan keputusan yang lebih bagus dibanding tanpa ada pengalaman sebelumnya. Paling tidak seorang pengambil keputusan sudah pernah melakukan kesalahan langkah sehingga tidak mengulanginya.
Pria kelahiran Makassar itu menjelaskan, dalam mengambil keputusan, seorang setelah mendapatkan input tersebut akan memprosesnya ke dalam bagian otak yang bernama sublimbik, yang mana merupakan tempat amygdala dan hippocampus.
Menurut Taruna, amygdala layaknya lampu lalu lintas di persimpangan jalan. Makanya amygdala ini bisa berpengaruh pada lambat atau cepatnya seseorang mengambil keputusan. Di dalam amygdala terdapat hormon melatonin, dopamin serta kortisol.
Dia menjelaskan, amygdala merupakan tempat produksi neurotransmitter yang menjadi sentral terjadinya pergerakan atau transmisi dalam otak.
Otak memiliki dua transmisi yakni dalam bentuk hormonal atau transmisi menghantarkan listrik elektron dan apakah otak terhubung langsung. Dari tiga koneksi langsung itu, kata Taruna, apakah langsung atau lewat hormonal atau elektron.
“Ketiganya bisa pengaruhi pengambilan keputusan,” tegasnya.
Seorang pengambil keputusan akan menggunakan memorinya di hippocampus dan area sublimbik melibatkan insting sang pengambil keputusan. Dalam proses ini, ada keterhubungan dari penglihatan, pendengaran dan sebagainya bersatu padu sehingga lahirlah keputusan A atau keputusan B.
“Dalam konteks itu sublimbik amygdala atau hippocampus di otak tengah itu bekerja sama terjadi sirkuit dan keputusan itu jalan akan kirim sinyal. Ada dikirim dua sinyal yakni neurotransmitter itu hormon otak ke daerah cortex di daerah depan, dari situ diolah diambil kebijakan prefrontal cortex, terus dikirim ke belakang untuk ambil keputusan gerakan apa. Misalnya keputusan A,” jelasnya.
Pemimpin bimbang
Dalam kajian neuroleadership, Taruna mengatakan, pengambilan keputusan strategis yang ragu-ragu atau bimbang bisa dilihat dari tempo keputusan tersebut diambil.
Dalam sistem kerja otak maka akan melibatkan berapa lama waktu, berapa elektron, bagaimana neurotransmitter bekerja melakukan satu tugas respons atas informasi tertentu.
Kalau prosesnya memakan waktu lama itu, menurutnya bisa diartikan keputusan yang tidak tegas.
“Kalau pemimpin yang bimbang itu mikir otaknya lebih lama. Dan dalam tiga aspek tadi di otak ada ranah neuro kompensasi. Makin pengalaman itu seharusnya makin lebih baik cepat. Pemimpin cukup lama ambil keputusan biasanya mungkin karena belum punya pengalaman, neuro kompensasi itu berlatih dengan kompensasi apa yang menjadi masalah di masa lalu,” jelasnya.
Artikel ini ditulis oleh Amal Nur Ngazis dan telah tayang di viva.co.id dengan judul Pemimpin Bimbang dan Cara Kerja Otaknya, https://www.viva.co.id/digital/teknopedia/1125760-pemimpin-bimbang-dan-cara-kerja-otaknya