Notice: Uninitialized string offset: 0 in /home/leadership.id/public_html/wp-includes/class-wp-taxonomy.php on line 1

Notice: Uninitialized string offset: 0 in /home/leadership.id/public_html/wp-includes/class-wp-taxonomy.php on line 1

Notice: Uninitialized string offset: 0 in /home/leadership.id/public_html/wp-includes/rest-api/endpoints/class-wp-rest-application-passwords-controller.php on line 1

Notice: Uninitialized string offset: 0 in /home/leadership.id/public_html/wp-includes/rest-api/endpoints/class-wp-rest-application-passwords-controller.php on line 1

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wordpress-seo domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/leadership.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
*RUANG ANTARA* *_THE AGE OF REASON_* DAN *_THE WEB OF SIGNIFICANCE_* - Neuroleadership Indonesia (NLI) Institute

*RUANG ANTARA* *_THE AGE OF REASON_* DAN *_THE WEB OF SIGNIFICANCE_*

Kita hidup di sebuah dunia yang terbukti semakin paralel meski belum lintas dimensi. Alam virtual yang semula hanya tersedia sebagai peluang dan potensi, kini maujud nyata melalui perkembangan teknologi dan sistem komputasi.Ada ruang hidup baru yang berwujud semesta sebagaimana bagian barat Amerika sebelum datangnya para petualang Eropa.

Maka judul di atas adalah diskursus antara Sartre dan Clifford Geertz yang lebih dikenal dengan idiom santri-abangannya. Abad kecerdasan ditandai dengan terelaborasinya data menjadi pengetahuan dan terkonvergensinya pengetahuan menjadi sains yang memerlukan metodologi dan alasan.

Perspektif berikutnya tentulah _iman_ dan kebijaksanaan (wisdom). Alam daring dengan ciri kemudahan komunikasi akan melahirkan peradaban saling mengunci dan terkoneksi (connected). Untuk selanjutnya tentulah akan lahir kerjasama dan kolaborasi yang menghadirkan produk serta tatanan.

Pro kreasi. Inilah keistimewaan manusia yang punya daya cipta dan sistematika berpikir adi daya. Kita membangun, menciptakan, dan disadari ataupun tidak, juga menghancurkan. Bahkan bukan cuma menghancurkan, melainkan meluluhlantakkan. Katastropik. Bukankah dengan logika sederhana dan premis-premis bersahaja saja sudah langsung terlihat kasat mata, bahwa manusia mengkreasikan bencana dan berperan sebagai korban di dalamnya.

Alam hanya menjalankan peran dan ketetapannya, tapi manusia punya kesempatan. Punya pilihan. Punya daya nalar. Punya daya kreasi dan kemampuan untuk menyelaraskan antara gagasan dan aksi. Lalu alam baru yang dinamai dunia _Saiber_ mulai menggeser batasan ruang dan waktu. Bahkan manusia telah menciptakan mesin-mesin peradabannya yang mengadopsi nyaris sempurna kemampuan istimewa otak manusia. Big Data, _data mining_, AI, DL dan _knowledge growing system_ nya Mas Arwin Sumari telah melahirkan dunia autonomous dimana manusia perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali terhadap nilai2 kemanusiaannya.

Mari kita simak lahir dan bergulirnya mesin pencari dan berbagai aplikasi perpanjangan inderawi; peta, layanan daring multiguna, sampai habitat baru yang dibangun lewat media sosial. Mesin yang semakin cerdas mulai membangun lapis perasaan dan kesadaran. Sadarkah kita jika setiap jejak digital kita dapat memberikan _engine_ gambaran tentang siapa kita ? Preferensi kita, dinamika emosi kita, psikografik, bahkan prediksi jalan hidup kita yang bahkan kita sendiri belum yakin akannya.

Ada konsep _filter bubble_ yg menghasilkan _algorithmic enclave_ (Merlyna Lim, 2017) dimana pola dan kebiasaan yang tercermin dalam aktivitas di alam saiber akan _memerangkap_ kita dalam jebakan infrastruktur manufaktur jiwa. Apa itu manufaktur jiwa ? Kita akan masuk ke dalam balon-balon preferensi yang mengepung kita dengan data dan fakta yang dipakaikan sesuai dengan pola yang kita tampilkan. Dengan kata lain, kita menciptakan posibilitas lahirnya dunia kita sendiri, dan itu dirancang dengan cerdasnya oleh mesin dan sistem yang kita buat sendiri. Kita terkepung dengan data yang kita sukai dan kita rasa sesuai dengan kebutuhan kita.

Mesin menawarkan efek psikadelik halusinogenik yang tak kalah trengginas dengan Meskalin dan senyawa sejenisnya seperti Psylocibin dari jamur tahi sapi. Lalu bukan hanya preferensi suka dan kegembiraan saja yang direkonstruksi oleh _engine_ yang dibangun oleh para _engineer_ yang ahli dalam perkara _engineering_. Perkara reka dan merekayasa. Maka kebencian, kemarahan, dan variabel penderitaan juga direkayasa hingga kita terekadaya.Sebagaimana yang oleh Daniel Keats Citron lebih ditekankan pada proses pelabelan negatif yg destruktif pada seseorang atau sesuatu hal hingga patut untuk dibenci dan disakiti (Hate Crimes in Cyber space, 2014).

Alam saiber yang sesungguhnya tanpa  ruang ini juga melucuti dan menanggalkan  segenap identitas dan karakter  yang kita sematkan pada peran  yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras. Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat _invisible_, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yg menyebabkan _cognitive exhausted_ ini, ada beberapa informasi yg dapat “singgah” bahkan menetap di benak kita.

Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkret betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya. Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita. Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan.

Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yg bersifat _trailer vision_ atau info yg bersifat _suspense_/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita. Mengapa ? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak “menarik” untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi “uncertainty”. Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan2 kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.

Maka kita pun mengenal konsep _loss aversion_, rasa kehilangan pada “sesuatu” yang menurut kita “semestinya” menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen2 kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya. Terdengar seperti sex dan judi ya ? Atau kuliner dan petualangan ekstrem ? Yah demikianlah kira2.

Penelitian di School of Medicine nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat _reward_ yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area _focused attention_ yang secara anatomi dikenal sebagai _inferior frontal junction_.

Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika). Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu;  _referential_ dan _condensation symbol_. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.

Apakah semua fakta selalu benar ? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta _priming_. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan. Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan ?

Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.

_tamat_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *